Sabtu, 29 Maret 2025

Atta Halilintar dan Rekan Terancam Kehilangan Segalanya, Sinyal Krisis Mulai Muncul di AS

 


LAPORANTULISAN - WWW.SLOT-500.ORG Dunia media sosial sekarang sudah tidak secuan dulu. Kini, industri yang membesarkan banyak nama influencer, seperti Atta Halilintar, dinilai semakin sesak dan memunculkan persaingan sengit untuk mendapat cuan.

Laporan The Wall Street Journal menyebutkan bahwa platform tak seroyal dulu dalam memberikan komisi ke para kreator konten. Para jenama kawakan juga lebih pilih-pilih untuk bekerja sama dengan influencer.

Salah satu contohnya adalah Clint Brantley yang merupakan kreator konten full-time sejak tiga tahun lalu. Brantley membagikan konten ke TikTok, YouTube, dan Twitch. Kebanyakan kontennya seputar tren yang berkaitan dengan game mobile Fortnite.

Meski memiliki lebih dari 400.000 follower dengan rata-rata view pada kontennya lebih dari 100.000, penghasilan Brantley pada tahun lalu lebih kecil daripada gaji median tahunan pekerja full-time di AS pada 2023 sebesar US$ 58.084 atau Rp 950 jutaan.

Pria berusia 29 tahun itu tak siap berkomitmen untuk menyewa apartemen karena penghasilannya yang tak tetap. Saat ini, Brantley masih tinggal dengan ibunya di Washington. "Saya sangat rentan," ujarnya seperti dikutip dari The Wall Street Journal, Minggu (30/3/2025).

The Wall Street Journal menuliskan bahwa meraih penghasilan yang layak dan dapat diandalkan sebagai kreator konten adalah hal yang sulit, dan akan semakin sulit.

Platform makin lama makin kecil membagikan uang untuk postingan populer. Di sisi lain, para brand lebih spesifik memilih kesepakatan dengan influencer.

Kondisi ini diperparah dengan ancaman TikTok diblokir di AS. Banyak kreator konten yang waswas apakah masih bisa meraup penghasilan dari media sosial jika salah satu channel sumber uangnya dihapus.

Ketimpangan pemasukan influencer ini ditentukan beberapa faktor. Misalnya apakah influencer bekerja secara full-time atau part-time, tipe konten yang dibagikan, hingga durasi mereka berkarir sebagai influencer.

Beberapa orang yang terkenal saat pandemi Covid-19 dan fokus pada topik yang populer seperti fesyen, investasi, dan lifestyle hack, mengaku sangat terbantu karena momentumnya pas.

Namun, di balik itu semua, kreator konten mengaku pekerjaan ini sangat menguras energi dan mental. Mereka harus selalu memikirkan konten apa yang akan disukai audiens dan mengambil momentum yang tepat.

Influencer menghabiskan waktu berhari-hari untuk merencanakan konten, memproduksi, hingga melalui proses edit untuk diunggah ke media sosial. Mereka juga harus selalu berinteraksi dengan para fans untuk menjaga popularitas.

"Ini adalah pekerjaan yang sangat berat dibandingkan apa yang dikira kebanyakan orang," kata analis Emarketer, Jasmine Enberg.

"Kreator yang bisa hidup dengan menjadi influencer telah melakukan pekerjaan ini selama bertahun-tahun. Kebanyakan tak jadi besar dalam waktu singkat," kata analis tersebut.

Terlebih lagi, para influencer yang bekerja secara mandiri tidak mendapatkan keuntungan seperti pekerja kantoran. Mereka tak mendapatkan jaminan kesehatan, uang pensiun, serta bonus tahunan.

Di tengah inflasi dan ketidakpastian ekonomi, influencer menghadapi tekanan yang kian sulit untuk mengamankan keuangan mereka.

Penghasilan dari Platform Makin Kecil
Pada 2020-2023, TikTok memiliki program pendanaan untuk kreator hingga US$ 1 miliar. YouTube melalui fitur Shorts juga memungkinkan kreator menghimpun uang sekitar US$ 100-10.000 per bulan dengan program pendanaan sementara.

Lalu, Instagram Reels memberikan penghargaan ke kreator dalam jumlah yang fluktuatif. Bonus besar itu menjadi taktik agar makin banyak orang membuat konten di platform mereka.

Namun, kini platform mulai mengubah kebijakan pembayaran untuk kreator konten. Ketentuan untuk penghasilan TikToker kini diperbanyak. Setidaknya harus memiliki 10.000 follower dengan view minimum 100.000 dalam sebulan.

Instagram juga sedang menguji coba program 'invitation-only' yang memberikan penghargaan uang bagi kreator yang membagikan Reels dan foto.

YouTube memperkenalkan program pembagian uang iklan pada tahun lalu untuk kreator Shorts yang memiliki setidaknya 1.000 subscriber dan 10 juta view dalam 90 hari. Mereka akan diberikan pembagian pendapatan iklan 45% untuk konten yang mereka bagikan.

Makin lama, TikToker mengaku makin susah cari duit. Salah satunya Ben-Hyun yang mengatakan pada Maret lalu mendapatkan US$ 200-400 per satu juta view. Namun, kini pendapatannya kian menurun meski followernya bertambah banyak hingga 2,9 juta.

Ben-Hyun mengaku kini hanya mendapat US$ 120 untuk video yang menghimpun 10 juta view. Hal ini menunjukkan, meski influencer memiliki audiens banyak, tetap sulit untuk memonetisasinya jika hanya berharap pada pendapatan dari platform.

Danisha Carter juga membagikan keresahan serupa. Ia mengatakan TikTok-nya memiliki 1,9 juta pengikut.

Menurutnya, para konten kreator berhasil membuat audiens 'ketagihan' di platform daring dan mendatangkan pendapatan miliaran dolar AS ke TikTok dan sejenisnya.

Tapi, bayaran untuk influencer tak setimpal. Ia mengaku mendapatkan pendapatan dari TikTok dengan total US$ 12.000. Untuk menambah pendapatan, ia memutuskan membuat merchandise dan mampu menghasilkan uang US$ 5.000 pada tahun lalu.

"Kreator harus dibayar adil dengan persentase yang sesuai dengan pendapatan yang diraih aplikasi," kata Carter.

"Harus ada transparansi soal bagaimana kami dibayar, dan kebijakannya harus konsisten," ia menyarankan.



Narasumber https://laporantulisan.blogspot.com/

https://heylink.me/Slot-500jackpot

https://allmy.bio/slot-500.com

https://linktr.ee/Slot500maxwin

Jumat, 28 Maret 2025

Hidup Mewah di Jakarta, Suami Istri Terungkap Tilap Rp 87 Miliar dari Bank

 

LAPORANTULISAN - WWW.BET-888.ORG Kisah menarik sempat terjadi pada masa penjajahan Belanda di Indonesia. Pada tahun 1910-an, seorang warga Belanda bernama Arnaud Marinus Sonneveld (A.M Sonneveld) dan istrinya kerap berfoya-foya setiap malam.


Tak ada yang curiga, sebab semua orang tahu keduanya memang kaya raya.

Saat tinggal di Batavia (sekarang Jakarta), Sonneveld pernah menjadi perwira KNIL alias Tentara Hindia Belanda. Berbagai penugasan dilakukan hingga berhasil penghargaan dari Ratu Belanda.


Setelah pensiun dini, dia lanjut bekerja di bank swasta terbesar, yakni Nederlandsch Indie Escompto Maatschappi. Di sana, dia bertugas sebagai kepala bagian yang mengurusi uang nasabah. Praktis gajinya pun cukup besar.


Atas riwayat pekerjaan demikian semua orang tak menaruh rasa curiga sedikitpun terkait asal-usul kekayaan Sonneveld. Sampai akhirnya, sikap tersebut berubah usai banyak orang membaca pemberitaan media pada awal September 1913.


Di awal bulan September mayoritas koran-koran di Hindia Belanda melaporkan tindakan melanggar hukum pegawai bank di Batavia. Setelah dibaca tuntas pegawai bank tersebut bernama A.M Sonneveld.


Harian Deli Courant (5 September 1913), misalnya, menulis kalau pria berusia 45 tahun itu terbukti melakukan pencurian uang nasabah sebesar 122 ribu gulden.


Pembuktian terjadi usai pihak Bank Escompto melakukan investigasi internal terkait transaksi mencurigakan. Dari sini kemudian diketahui, Sonneveld melakukan "permainan kotor."


Pada 1913, 122 ribu gulden bisa membeli 73 Kg emas sebab diketahui harganya per gram mencapai 1,67 gulden. Artinya, jika dikonversikan ke masa sekarang, maka 73 Kg emas setara Rp87 miliar (1 gram emas: Rp1,2 juta).

Pada sisi lain, Sonneveld ternyata sudah tahu cara kotornya mulai diketahui pihak bank. Maka, jauh sebelum ditetapkan tersangka, dia dan istri sudah kabur terlebih dahulu ke luar kota. Polisi lantas menetapkan keduanya sebagai buronan dan menyebarluaskan deskripsi fisiknya di banyak koran dan tempat.


Laporan de Sumatra Post (6 September 1913) mewartakan secara detail ciri fisik Sonneveld, yakni berkulit coklat, berdarah Belanda, ada bekas luka di pipi kanan dan lutut, dan berusia 45 tahun.


Beruntung, penyebaran informasi berhasil membawa titik terang pelarian pasangan suami istri tersebut. Diketahui, dia ternyata pergi ke Bandung menggunakan kereta api dari Meester Cornelis (kini Jatinegara).


"Polisi mendeteksi dia menyewa mobil dari Meester Cornelis dan pergi ke hotel di Bandung," tulis pewarta Deli Courant saat itu.


Di Bandung, keduanya tak diam dan melanjutkan perjalanan lagi ke Surabaya menggunakan kereta api. Harian Bataviaasch Nieuswblad (7 September 1913) melaporkan, selama perjalanan kereta api, Sonneveld sempat bertemu seorang teman yang bertanya tujuan perjalanannya.


Kepada teman, buronan dari Batavia itu bilang akan pergi ke Hong Kong setibanya di Surabaya. Dalihnya, perjalanan dilakukan untuk studi banding ke Bank Escompto cabang Hong Kong. Meski begitu, temannya tahu bahwa itu hanya bualan semata.


Maka, dia melaporkan cerita ini ke polisi. Alhasil, kepolisian Hindia Belanda bergegas menghubungi polisi Hong Kong. Akhirnya, perjalanan Sonneveld dan istri pun berakhir.


Belum lama menginjakkan kaki di daratan Hong Kong, keduanya langsung diciduk polisi dan diekstradisi ke Hindia Belanda. Disita pula tas berisi sisa-sisa uang pencurian.


Sesampainya di Indonesia, keduanya langsung diadili. Di pengadilan, Sonneveld mengaku melakukan pencurian uang nasabah untuk memenuhi hasrat hidup mewah. Begitu pula istrinya yang mengetahui tindakan suami dan berupaya menutupi.


Sonneveld lantas dihukum 5 tahun penjara. Sementara istri harus berada di hotel prodeo selama 3 bulan. Kasus Sonneveld kemudian tercatat dalam sejarah sebagai pencurian terbesar di tahun 1910-an.





Ogah Manfaatkan Nama Orang Tua, Anak Orang Penting Lebih Suka Hidup Melarat

 


LAPORANTULISAN - WWW.SLOT1000K.COM Praktik 'menjual' nama besar orang tua atau saudara acapkali dilakukan anak-anak pejabat tinggi negara demi meraih kesuksesan dalam mencari kerja atau kekuasaan. Namun rupanya ada satu orang anak pejabat yang ogah melakukan praktik ini.

Ialah Soesalit, anak dari R.A Kartini. Nama Soesalit memang tidak begitu dikenal dibanding ibu kandungnya, namun keredupan nama Soesalit disebabkan oleh keputusannya sendiri yang tidak ingin menaiki tangga kesuksesan bermodalkan nama besar ibunya Kartini.

Pada masanya, Soesalit jadi anak cukup beruntung. Dia lahir dari keluarga pejabat sebab ayahnya Raden Mas Adipati Ario Djojadiningrat bertugas sebagai Bupati Rembang. Kelak, sejarah juga mencatat sang ibu, Kartini, menjadi orang besar karena punya pemikiran visioner melampaui zaman.

Meski begitu, Soesalit tak mau mengandalkan nama besar kedua orang tua untuk meniti kehidupan. Wardiman Djojonegoro dalam Kartini (2024) menceritakan, Soesalit sebenarnya berhak menggantikan ayahnya sebagai bupati. Namun, dia mantap menolaknya. Banyak saudara yang berulangkali meminta Soesalit menjadi, tapi jawabannya berujung penolakan.

Masuk Tentara dan Gabung PETA

Sebagai gantinya, dia memilih masuk tentara pada 1943. Dia dilatih oleh tentara Jepang dan kemudian tergabung sebagai tentara Pembela Tanah Air (PETA). Ketika Indonesia merdeka, Soesalit praktis menjadi bagian Tentara Keamanan Rakyat Republik Indonesia. Dari sini, kariernya perlahan moncer.

Menurut Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi (1979), Soesalit selalu terlibat dalam beberapa pertempuran melawan Belanda yang lantas membuatnya cepat naik pangkat. Begitu juga namanya yang makin terkenal.

Puncak kesuksesan sebagai tentara terjadi pada 1946. Dirinya diangkat menjadi Panglima Divisi II Diponegoro yang memimpin pasukan terpenting karena bertugas menjaga ibukota negara di Yogyakarta.

Bahkan, dia juga pernah beberapa kali memegang jabatan sipil. Salah satunya sebagai penasehat Menteri Pertahanan di Kabinet Ali Sastro pada 1953.

Saat ini terjadi, jarang orang mengetahui kalau Soesalit adalah anak dari tokoh besar RI bernama R.A Kartini. Dia memang sengaja tak menjual nama besar ibunya.

Padahal, sepanjang dia hidup, kisah-kisah Kartini berulangkali menjadi inspirasi dan terus diceritakan banyak generasi terkait perempuan penuntut kesetaraan lewat surat-suratnya. Bahkan, kala itu sudah populer lagu mengenai ibunya berjudul "Ibu Kita Kartini" buatan W.R Soepratman yang terus dinyanyikan banyak orang.

Atasan Soesalit, Jenderal Nasution, menjadi saksi bagaimana dia memang tak mengumbar nama orang tua. Nasution melihat ketika tak lagi bertugas, Soesalit lebih memilih hidup melarat sebagai veteran. Dia tak meminta hak-haknya sebagai veteran.

Kata Nasution, dikutip dari Kartini: Sebuah Biografi (1979), dia bisa-bisa saja hidup tak melarat dengan berkata bahwa dia adalah satu-satunya putra Kartini. Dengan begitu, banyak orang akan menaruh simpati sehingga bisa mengubah hidup jenderal bintang dua tersebut.

Namun, Soesalit tetap memegang prinsip yang dia tanamkan dari awal: tidak mau mengutarakan bahwa dirinya keturunan Kartini. Akibat prinsip ini, pria kelahiran Rembang ini tetap melarat sampai tutup usia pada 17 Maret 1962.